Ibu, engkau duduk di hadapanku.
Ibu tak bisa mati dalam hidupku.
Sampai larut malam usia wadagku
nanti, Ibu memanggang cintaku.
Pandangan mata Ibu tak menagih
apapun. Tapi aku akan menyicil bayar-
an demi bayaran, dalam perdagangan
dengan Tuhan yang aneh.
Doa Ibu tak pernah ganti. “Allah
perkenankan dan kurung anakku dalam
ijaah-Mu untuk berdiri membela kaum
fakir miskin.Allah, istaqim aladi,
tegakkan kaki anakku.Allah nawwir
qalbuhu,cahayai hatinya. Allah pe-
lihara imannya. Isikan tawakkal dan
sabar di dadanya. Allah penjaga waktu
dan ruang. Allah pengangon hari dan
malam.Alladzi la tudrikuhul-abshar
wa-huwa yudrikul-abshar.Allah yang
tak terlihat, yang melihat, yang me-
nyediakan segala hal tak terduga....”
Doa Ibu mengangkat tanganku untuk menampar mukaku sendiri yang hina. Doa Ibu lugu dan sungguh-sungguh. Ibu tak tahu slogan, dan manusia tak
bisa menyelenggarakan pameran
apapun di hadapan Tuhan. Doa Ibu
memantulkan hidup Ibu. Kata-kata ibu
memproyeksikan keringat Ibu.
Ibu duduk di hadapanku. Desa kita dan
dunia berkecamuk di antara kita.
Airmuka Ibu selalu bertanya apakah
anak-anak Ibu bukan beberapa lembar
daun kering yang melayang-layang
disebul angin. anak-anak Ibu harus
menjawab, dan anak-anak Ibu belum
makin mampu untuk menjawab.
-EAN-
Jumat, 28 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar